Bahan Sermon PJJ Tgl 21-17 Juni 2020

Nats: Masmur 42:1-6
Tema: Tedeh ateku Kam O Dibata (Jiwaku Rindu akan Allah)

42:1 Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah. (42-2) Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. 42:2 (42-3) Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? 42:3 (42-4) Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” 42:4 (42-5) Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan. 42:5 (42-6) Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! 42:6 (42-7) Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu dari tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon, dari gunung Mizar.

===================================================

Ketika kita hidup dalam kekecewaan, sedang menanggung beban yang terlampau berat, tapi pertolongan tidak kunjung datang, maka kita sering berteriak “Di manakah Engkau, Tuhan?”  Pemazmur dalam ayat ini sedang mengalami pergumulan dan kesulitan hidup. Jiwanya gelisah dan tertekan  ia mengungkapkan perasaan hatinya.  Maka, lahirah Mazmur Ratapan ini.  Besar kemungkinan, saat itu orang-orang  Israel menjadi tawanan pembuangan Babel. Jiwa mereka tertekan, kebanggaan mereka menjadi bangsa yang besar, umat kesayangan Allah, hanya  menjadi kenangan. Bertahun-tahun dan berulang-ulang mereka berseru kepada Allah,  tetapi Allah tak menjawab seolah Dia tak lagi hadir dalam kehidupan umat-Nya. Kerinduan ini diungkapannya, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (ay. 2).  Seekor rusa yang berada di  hutan yang kering terbakar kemarau panjang. Tak ada lagi daun yang hijau,  tak ada lagi burung-burung yang berkicauan, dan tak ada lagi rumput yang hijau, selain petak-petak tanah kering dan retak-retak. Ia sadar, tanpa air hidupnya akan berakhir.  Itulah pelukisan jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan Allah. (ay.3). Sekarang ia melukiskan kerinduannya perkataan “Allah yang hidup”  Allah adalah Pribadi yang hidup yang berbeda dengan dewa-dewa Babel yang mati, dan juga Allah adalah sumber kehidupan dari segala sesuatu, dan tanpa Allah, ia akan mati binasa.“Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”  Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena kebutuhan yang sangat besar dan mendesak. “Bilakah” atau “Kapankah” menunjukkan bahwa kehausan pemazmur sudah berlangsung demikian lama  namun, respon dari Allah tak pernah ada. Ayt 4. Di pembuangan, mereka menerima perlakuan yang tidak baik, termasuk tekanan untuk menyembah dewa orang Babel. Ketika pemazmur berusaha mempertahankan imannya, dia dicemooh “Di mana Allahmu?”  Bagai anak ayam kehilangan induknya, ia tidak punya tempat untuk berlindung. Karenanya, ia berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Sepanjang hari ia berduka, dirundung kesedihan. (ay. 5) Setelah sekian lama membiarkan jiwanya terpuruk,maka  pertama: Ia mengarahkan mata imannya kembali kepada Allah dan menembus kegelapan, yaitu mengenang saat-saat manis bersama dengan Allah di Jerusalem. Saat-saat mereka kagum kepada pribadi-Nya, kasih-Nya, kebaikan-Nya. Sehingga tak ada keraguan sedikit pun bahwa Ia adalah Allah yang selalu menepati janji-Nya. Ke dua: membangkitkan imannya dengan mengendalikan perasaannya dan pikirannya. Pemazmur bertanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah dalam diriku?” (ay. 6a). Dia sadar selama ini Pemazmur dikuasai oleh perasaannya sehingga imannya terombang-ambing.  Namun, setelah membuka kembali kenangan bersama Allah dan memperoleh keyakinan bahwa Allah adalah Pribadi yang baik dan setia, ia menegur jiwanya. Walaupun doanya belum terjawab, permohonannya belum terpenuhi, dan keadaannya belum berubah, ia beriman bahwa Allah hadir sama seperti ketika dulu di Yerusalem. Itulah sebabnya, ia berkata, “Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku” (ay. 6b). Suatu komitmen telah dibuat, untuk bersyukur kepada Tuhan seperti dulu.  Wajah pemazmur yang dirundung ratapan, kini berubah menjadi sukacita karena ia kembali berharap kepada Allah yang hidup.  

Tema: Tedeh ateku Kam O Dibata. Jiwaku rindu akan Allah.

1. Berharap kepada Allah di masa-masa sulit, apalagi dalam pergumulan yang panjang, bukanlah hal mudah.  Menjalani masa-masa sulit tanpa harapan, ibarat sebuah sampan yang terkatung-katung tanpa arah di tengah lautan luas dan buas. Harapan kepada Allah adalah keyakinan bahwa apa yang Allah firmankan atau janjikan akan terjadi dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada Allah dengan segala perkataan-Nya, kita mempunyai harapan. Namun bila pikiran dan kekuatan manusia yang berkuasa maka semangat bisa berubah, sebab keyakinan pun bisa padam sehinngga seperti orang yang meraba-raba dalam gelap, berjalan dalam ketidakpastian. Dalam kaitannya dengan salah satu penelitian Litbang: kehadiran Jemaat baik dalam ibadah dan kegiatan lainnya masih 40-60%. Artinya kerinduan jemaat secara kebenaran iman masih perlu dibangun. Artinya kerinduan hati dan jiwa orang percaya kepada Allah, umumnya masih biasa-biasa saja, belum seperti rusa yang haus dan merindukan air.    

2. Berharap kepada kemenangan tercermin dalam kenangan indah atas pemeliharaan Tuhan, saat-saat mengalami kepahitan hidup. Jadi mata kita, jiwa kita harus tertuju kepada Allah dan mengimani apa yang diFirmankannya.Datanglah kepada Yesus! Berharaplah kepada-Nya! Jangan biarkan diri kita berlarut-larut dalam kesedihan, hidup kita akan hancur! Tetaplah percaya dan berharap  kepada Allah sebagai penolong kita meskipun Ia tampak absen di tengah-tengah pergumulan hidup kita yang berat. Tiba waktunya Ia akan mengubah ratapan kita menjadi genderang kemenangan.