Khotbah 13 Oktober 2019

Persembahan Hasil Panen

Bilangan 28:26-31

28:26 Pada hari hulu hasil, pada waktu kamu mempersembahkan korban sajian baru kepada TUHAN, pada hari raya lepas tujuh minggu, haruslah kamu mengadakan pertemuan kudus, maka tidak boleh kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. 28:27 Pada waktu itu haruslah kamu mempersembahkan sebagai korban bakaran menjadi bau yang menyenangkan bagi TUHAN: dua ekor lembu jantan muda, seekor domba jantan, tujuh ekor domba berumur setahun; 28:28 juga sebagai korban sajiannya: tepung yang terbaik, diolah dengan minyak, yakni tiga persepuluh efa untuk setiap ekor lembu jantan, dua persepuluh efa untuk domba jantan yang seekor itu, 28:29 sepersepuluh efa untuk setiap domba dari ketujuh ekor domba itu; 28:30 seekor kambing jantan untuk mengadakan pendamaian bagimu. 28:31 Selain dari korban bakaran yang tetap dan korban sajiannya, haruslah kamu mengolah semuanya itu, serta dengan korban-korban curahannya. Haruslah kamu ambil yang tidak bercela.

Memberi persembahan adalah ciri khas dan gaya hidup orang-orang percaya kepada Tuhan sejak dimulainya kehidupan ini. Semua tokoh-tokoh Alkitab dari kitab Kejadian sampai kitab Wahyu tetap mengajar tentang memberi persembahan kepada Tuhan.  Kekurang- sadaran dalam hal memberi adalah sebagai wujud ketidakmampuan dalam mensyukuri dan menghormati Tuhan, sehingga membuat orang kristen masih banyak ogah-ogahan dalam memberi persembahan. Jika hal itu terjadi, merupakan penghinaan dan kejahatan di mata Tuhan. Sejak awal, Tuhan menuntut persembahan yang benar atas dasar iman, bukan sifatnya menyogok atau menyumbang. Tuhan tidak pernah kompromi dengan umat-Nya yang tidak menghormati-Nya sebagai Allah, dan Raja, karena itu marilah belajar memberi dan  mensyukuri berkat yang Tuhan berikan, sebagai persembahan yang kudus bagi-Nya.

Melalui nas ini umat Israel bersaksi ketika ia menjalankan kehidupan keberagamaan, dengan merayakan pesta panen sebagai tanda iman dan menghormati Tuhan sebagai sumber berkat ketika Tuhan telah memberikan tempat dan tanah di tanah perjanjian. Perayaan ini dilaksanakan pada hari kelima puluh setelah perayaan Paskah dengan memberikan persembahan korban bakaran dan korban sajian dengan hasil yang terbaik lengkap dengan aturan-aturannya. Hal ini menunjukkan kesungguhan dan penghormatan Isrel kepada Tuhan bahwa persembahan mereka adalah dari hasil keringat, hasil dari tanah atas pekerjaan dan usaha mereka sebagai berkat Tuhan sehingga dengan sungguh-sungguh semua dipersiapkan. Bangsa Israel diperintahkan untuk merayakan hari raya pesta panen, sebagai wujud pengakuan bahwa Allahlah yang empunya tanah dan mengimani serta mengandalkan Tuhan sebagai sumber segala berkat. Dengan kesadaran bahwa Allah telah melakukan tindakan hebat dan pengalaman akan mujizat membuat mereka datang beribadah kepada Allah. Dengan sikap takjub dan hormat mereka membawa hasil panen pertama. Mengapa buah pertama? Bukankah buah yang terbaik adalah buah pertengahan? Dalam dunia pertanian, buah pertama tidak pernah dijadikan sebagai benih? Buah pertama dijadikan persembahan karena buah itu dianggap menjadi wakil dari seluruh hasil panen. Artinya, Allah sebagai pemilik tanah dimuliakan dan dihormati. Hal ini sama dengan yang dilakukan dalam masyarakat Karo tradisional, bahwa “Page Mbaru” diberikan kepada kalimbubu sebagai Tuhan yang dapat dilihat (Dibata ni idah).

Melalui minggu kerja rani ini kita diajak untuk berefleksi kembali terhadap tugas dan panggilan kita sebagai orang-orang yang diberkati oleh Tuhan. Apakah kita sudah mempersiapkan dan akan memberikan persembahan yang benar dan terbaik kepada Tuhan?. Apakah kita memuliakan Allah melalui harta, kekayaan, dan dari penghasilan kita seperti yang diperintahkan Tuhan kepada kita? Marilah dengan sukacita akan mempersembahkan persembahan kita dengan penuh syukur  karena kita percaya jika kita mempermuliakan Tuhan, Tuhan juga akan mendengar doa-soa kita. (Yoh 9:31). Renungan:Siapa yang menghormati Tuhan akan dihormati: sebab siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi siapa yang menghina Aku, akan dipandang rendah. (1 Sam 2:30).

(Pdt. Maslon Ginting)